

JAYAPURA (LINTAS PAPUA) – Dugaan tindak pidana korupsi pembangunan dermaga peti kemas Depapre akan dituntaskan minggu depan. Demikian dikatakan Jaksa, Kubela SH kepada pers usai menerima demo damai masyarakat Depapre di kejaksaan negeri Jayapura, Selasa (4/4/2017).
Kubela menjelaskan, bahwa lambannya penanganan kasus ini dikarenakan Jaksa yang menangani kasus ini sibuk dalam pelaksanaan Pemilukada yang baru saja dilaksanakan.
“Sekarang jaksa sudah tidak sibuk, maka diharapkan minggu depan kasus ini sudah siap untuk dilimpahkan ke Pengadilan,” ujar Kobela SH.
Lebih lanjut dijelaskannya, sudah 3 orang TSK yang dipanggil untuk pemeriksaan namun satu dinyatakan telah meninggal dunia.
Beberapa perwakilan masyarakat Depapre, Kabupaten Jayapura mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jayapura menahan beberapa tersangka dugaan korupsi kasus pembangunan pelabuhan peti kemas Depapre. Desakan itu disampaikan perwakilan masyarakat dengan aksi demo damai di Kejari Jayapura.

Sementara itu, Ondoafi Tepera Wauna Depapre, Septinus Jarisetouw, mengatakan pihaknya sangat menyesalkan pemerintah daerah yang tidak pernah melibatkan dirinya selaku ondoafi dalam pengadaan tanah sampai dengan proses pelepasan tanah adat serta pembayarannya.
“Saya tidak pernah diajak bicara. Dan ketika saya tau saya tolak , sebab saya berpegang pada Undang Undang pemerintah Indonesia,” kata Septinus.
Lebih lanjut dijelaskanya, bahwa pembebasan tanah untuk pelabuhan peti kemas ini telah berlangsung lama. Pembayaran sudah Berlangsung tahun 2013. Namun pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten Jayapura tidak pernah mensosialisasikannya.

“Mereka juga tutupi soal analisa dampak lingkungan (amdal). Amdal baru diumumkan tahun 2016, padahal sudah ada kajian ilmiah dari Universitas Cendrawasih dan dari LIPI bahwa daerah atau wilayah tersebut tidak dapat digunakan karena ada terumbu terumbu karang. Saya sebagai ondo dinasehati oleh 5 orang profesor doktor untuk menolak,” ujar Septinus panjang lebar.
Lanjutnya, sebagai ondoafi yang memiliki banyak jiwa sebagai masyarakat, dirinya menolak pembangunan dermaga ini karena akan menghancurkan mata pencaharian masyrakat.
“Masyarakat saya mata pencahariannya hanya nelayan . Mereka hidup hanya dari laut karena tanah yang ada tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam,” ujarnya.
Dirinya sebagai ondo juga menyesalkan lambatnya penyelesaian kasus ini. “Sudah ada 15 orang tersangka, ada juga mantan bupati dan bupati tapi belum diproses,” katanya.

Septinus menegaskan, mengapa pemerintah daerah terlibat, dikarenakan pemerintah daerah khususnya pemda kabupaten Jayapura salah dalam melakukan pembayaran hak ulayat dan kepemilikan tanah.
“Tanah ini milik suku Jarisetouw, Soumilena, Demetouw, Somisu dan Danya. Oleh sebab itu bukan milik perseorangan seperti yang kemarin menerima uangnya,” ujar Septinus.
Dengan adanya demo di Kejaksaan Negeri dan Polda Papua, Septinus berharap kasus ini segera diselesaikan.
Dari sumber tertutup diketahui bahwa diduga ada korupsi yang dilakukan oleh Bupati Jayapura bersama pejabat terkait lainnya dalam kasus pembayaran ganti rugi tanah pelabuhan peti kemas Distrik Depapri Kabupaten Jayapura tahun 2013 sebesar Rp. 3.068.150.000 yang dibayarkan oleh Pemda Kabupaten Jayapura kepada yang mengaku sebagai pemilik tanah.

Ganti rugi pengadaan tanah peti kemas tersebut tidak dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, baik mengenai nilai ganti rugi yang di mark up maupun hak kepemilikan. Tanah tersebut merupakan area laut yang dikeringkan (reklamasi) dengan status kepemilikan sebagai tanah adat namun dibayarkan secara pribadi kepada yang mengaku pemilik tanah.
Pada 2013, Pemkab Jayapura membayarkan senilai Rp3.068.150.000 kepada pihak yang mengklaim pemilik ulayat. Selain salah bayar, diduga ada penggelembungan dana dalam ganti rugi tersebut. Perwakilan pemilik ulayat tidak hanya menggelar aksi di Kejari Jayapura, namun juga di halaman Polda Papua.
Masyarakat Menuntut Pengungkapan Kasus
Sebelumnya, sejumlah masyarakat adat Tyatiki, Tanah Merah mendesak Kejaksaan Negeri Jayapura segera menetapkan tersangka pelaku korupsi pengadaan tanah pelabuhan Peti Kemas di wilayah tersebut. Pada tangal 16 Juli 2016. Desakan tersebut disampaikan dalam aksi demo yang digelar di depan kantor Kejari, Kota Jayapura, Kamis (16/6/2016).
“Kami dari Dewan adat yang mewakili 23 kampung yang ada di Tanah Merah datang ke sini untuk menyampaikan aspirasi kami terhadap para koruptor yang mengambil Rp 12.414.309.000 ,- tanpa sepengetahuan kami masyarakat adat Tanah Merah dan kami merasa tertipu,” beber Ketua Suku Tyatiki Tanah Merah, Josian Ojaitow, yang dikutip dari http://www.beritapapua.dharapos.com/2016/06/kejari-jayapura-didesak-tetapkan.html
Lanjut dia, Amdalnya pun tidak jelas begitu pula pengadaan tanah yang diperuntukkan bagi pelabuhan Peti Kemas Depapre adalah ilegal.
Usai membacakan pernyataan tuntutan, para pendemo kemudian menyerahkan surat tersebut ke pimpinan Kejari Jayapura.
Sementara itu, Kepala Kejari Jayapura, Amal Abbas, SH, MH mengakui pihaknya tidak bisa terburu-buru dalam menangani kasus yang berkaitan dengan masalah tanah adat di Papua.
“Tidak segampang itu kita mengurus tanah adat di Papua. Oleh karena itu, kami minta masukan lagi apakah ada indikasi penyimpangan dalam hal ganti rugi tanah? itu yang akan kami usut,” akuinya kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Kamis (16/6/2016).
Pihaknya juga, lanjut Akmal, tidak akan terburu-buru untuk mengambil kesimpulan karena spesifik masalah adat kearifan lokal di Papua ini sangat kental.

“Kami juga perlu bukti-bukti yang kuat sementara tanah adat sendiri tidak memiliki bukti kepemilikan,” cetusnya.
Olehnya itu, ditegaskan Akmal bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru menyatakan pendapat atas dasar desakan.
“Kami perlu ada pendalaman lagi tentang masalah ini,” tukasnya. (Eveerth Joumilena /Dari berbagai sumber)





